BANGSA SETAN-SETAN (CERPEN)

Bangsa Setan-Setan

REL KERETA

[Terinspirasi oleh Immanuel Kant]

Bangsa ini Bangsa Setan-Setan. Tak ada manusia di sini. Yang ada hanya setan. Ketika manusia mendengar bangsa ini, mereka kira ini hanyalah bangsa khayalan. Namun, kali ini kutegaskan lagi bahwa bangsa ini nyata, ada, dan mengada – Bangsa Setan-Setan.

Bangsa ini dipimpin oleh seorang setan. Rakyatnya setan. Legislatifnya setan. Eksekutifnya setan. Bahkan, Yudikatifnya pun setan. (Tapi mana ada setan yang tahu hukum, apalagi keadilan? Namun itulah kenyataannya.) Terima saja, bangsa ini Bangsa Setan-Setan!

***

Kali ini aku ingin memperkenalkan diriku, ”Aku Setan. Ingat! Se…Tan!!!”. Itu saja. Tak lebih. Tak kurang. Bukan manusia, apalagi seorang yang alim, yang taat beribadah atau tahu dogma. Yang kutahu hanya dosa, jauh dari doa, namun dekat dengan TOA (teriak ke sana – ke mari.. memprovokasi massa.. itu kerjaanku..). Tak lagi muda. Sedikit tua. Dan aku tak mudah. Agak susah. Dan resah. Kadang juga gerah. Namun untung, keluargaku setan. Mereka sangat mengerti aku.

Ibuku setan. Ayahku pun setan. Sejak kecil aku diajari sopan-santun ala setan. ”Tak percaya khan, kalau ada sopan-santun dalam kehidupan setan?” Kami juga tak mau kalah dengan manusia. Kedepannya mungkin akan kami patenkan. Bahkan, wilayah-wilayah perbatasan, yang terletak antara kemanusiaan dan kesetanan akan selalu kami perjuangkan untuk menjadi milik kami. ”Bukankah manusia telah bosan dengan ’kemanusiaan’ itu?” Tapi… Sudahlah! Tinggalkan sejenak pertanyaan itu. Sekarang aku ingin cerita mengenai ibuku.

 ***

Di akte kelahirannya, ibuku bernama Maryam. Panggilannya di rumah, “Matan”. Kata eyangku, “Itu singkatan MAnis seTAN.”

Ternyata eyangku juga bisa bercanda, walaupun raut mukanya selalu serius, seperti diktator Orde Setan dulu. Tapi, biarkan saja. Ia sudah tua. Jangan percaya eyangku.

Mari kita kembali ke ibuku, Maryam. Nama lengkapnya, Maryam Tania. Ia setan paling cantik di desa ini (mana ada sih seorang anak yang ingin menghina ibunya sendiri). Tapi tunggu dulu, ini obyektif. Kata setan-setan di sini, tetangga-tetanggaku, ibuku dulunya adalah seorang setan primadona, kembang desa, tapi bukan seperti kembang-kembang di pinggir jalan yang bisa dipetik kapan saja. Ia kembang terindah, bahkan tak ada duanya.

Kembang di desa ini adalah kembang kamboja, yang harum itu. Tak ada kembang lain selain kamboja di desa kami. Sehingga tak heran jika desa ini terkenal dengan aroma kambojanya. Tak seperti desa seberang, yang selalu beraroma darah. Desa itu adalah desa vampir (istilah keren dari “Maklampir”). Darah adalah makanan dan minuman mereka sehari-hari. ”Dan ibuku… Sekali lagi… Ibuku… Ia perkecualian… Ia bukan kamboja, apalagi yang beraroma darah. Melainkan, ia adalah sebuah hasil persilangan antara melati, mawar, dan anggrek.” Kau bisa bayangkan? Tapi lebih baik percaya saja, nggak usah mikir, yang pasti adalah sebuah percampuran yang indah dan pas pastinya. Kata kebanyakan teman-temanku, ”Ia bagaikan orang Indo”. Aku sebenarnya bingung, darimana asal kata Indo itu, ”Apakah Indonesia?” Aku pun ragu karena kebanyakan orang yang disebut Indo tidak 100% Indonesia. ”Apakah Indo itu Indonesia?” (Bagiku, Indonesia ya Indonesia, tak perlu disingkat. Itu sakral.) Tapi, yang jelas ibuku melampaui keindahan orang-orang Indo. Ia berparas ayu, elok, dan rupawati – berbeda dengan rupawan. Begitulah gambaran yang diberikan oleh para penyair tempo doeloe. Ia berhidung mancung, dengan dua lesung pipit di pipinya, dengan mata tajam dan alis tipis bagaikan pelangi yang membentang di atas awan-awan putih sehabis hujan, rambutnya hitam-kelam-berkilau dan terurai hingga bahu, dan kulitnya pun putih halus terawat bagaikan salju di puncak Himalaya.

Walaupun agak sedikit lebay tadi, namun ketika berbicara Himalaya aku selalu teringat Papua. ”Apa hubungannya?” Aku pun tak tahu pasti. Yang jelas kata guruku di kelas, Papua memiliki gunung dengan puncak yang bersalju abadi seperti Himalaya. Aku pun tak yakin, sampai kapan salju itu akan bertahan. Kata orang-orang di Tipi (TV maksudku), bumi semakin panas, sedangkan kata para akademisi, istilah kerennya “telah terjadi pemanasan global” (untung saja aku sudah tidak di bumi). Mereka pun meragukan, ”Sampai kapan salju abadi itu akan bertahan?” Aku pun tak tahu pasti. Biarkan kebanyakan orang berbicara dan menjawab pertanyaan itu sesuka hatinya.

Namun yang jelas, ”Papua…” kata eyangku, ”Dulu sangat indah, tapi kini…? Hancur terkuras sumber dayanya. Tak pernah maju. Dan, selalu tertinggal. (Itu kata-kata penguasa. Namun sebenarnya, dari sudut pandang mereka, penguasa itu yang kurang mengerti mereka karena sebenarnya orang Papua memiliki kebijaksanaan lokal yang tak bisa hanya dipandang sebelah mata.) Orang-orang percaya bahwa Ibu mereka adalah tanah mereka. Bumi itu sendiri. Tanah yang mereka injak. Namun sayang, apa yang mereka anggap sebagai ’Ibu’, kini telah teraniaya. Bahkan, bagian yang mereka anggap sebagai ’Kepala dari Ibu’, ternyata kini telah dikuras sumber dayanya dan ditambang habis-habisan. Kini tinggal tampak sebagian ’Kepala dari Ibu’. Sebagian utuh. Sebagian lagi…” Eyang berhenti sejenak dan menitikkan air mata karena merasa tidak bisa lagi menggambarkannya. Ia bingung memilih kata-kata yang cocok untuk kehancuran itu. ”Hanya kiamat yang bisa menghentikannya. Bayangkan saja jika kepala ibumu dipukuli orang dan kau tidak membela? Apakah kau masih bisa disebut anak?”

Aku hanya terbelalak dan tak dapat mengucapkan apa-apa lagi ketika itu. Kubiarkan eyang berbicara sesukanya, walaupun itu cukup membuatku pilu. Namun yang jelas, di balik “salju abadi” itu ada “kemanusiaan yang abadi”. (”Lho kok aku berbicara mengenai kemanusiaan? Aku khan setan?” Biarkan saja, ini pasti akibat pendidikan guru-guruku itu.) Di masa depan, akan kuperjuangkan konsep kesetanan yang melampaui konsep kemanusiaan selama ini. Bahkan, akan kuperjuangkan agar lebih baik lagi dari konsep yang telah dijunjung tinggi berabad-abad itu (namun sepertinya, konsep itu lahir di abad ini, walaupun bayang-bayangnya telah tampak lebih dulu sebelum ’Ada’-nya). Konsep HAM (Hak Asasi Manusia) akan kuganti dengan HAS (Hak Asasi Setan). Tapi itu sudah diusulkan oleh temanku yang bernama Hasto. Setelah aku pikir-pikir lagi, ”Jangan-jangan konsep HAS itu hanya ingin melambungkan namanya saja (HAS-to)?” Sudahlah, tinggalkan saja konsep itu di lembar ini!

 ***

Tak lama berselang eyang pun berkata, ”Le, mrene’o le…” panggil Eyang sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Aku heran. Tak mengerti apa yang diucapkannya (pada waktu itu). Hanya tahu bahasa tubuhnya, intinya aku diminta lebih mendekat padanya.

”Eyang… eyang tadi ngomong apa..?”

”Waduh… (spontan memegang keningnya), kamu memang benar-benar malu-maluin Eyang. Itu khan bahasa Jawa. ’Le’ itu panggilan sayang untuk anak laki-laki. ’Mrene’o’ itu berarti ’ke sini’. Eyang hanya minta kamu datang ke sini, lebih dekat.” ”Oh, kalau itu khan aku juga tahu, Eyang. Tangan eyang sudah mengatakannya.” Ia kali ini benar-benar mirip dengan diktator itu. Tangannya pun sudah berkata-kata. Tak ada yang berani dengannya. Lelucon sang diktator pun bisa diartikan perintah oleh para bawahannya. Suatu ketika ia berkata, ”Saya prihatin!” Akhirnya seluruh rakyat yang bernama, ”Pri” dan ”Hatin” dibunuh atas nama keloyalan pada sang diktator. Namun, itu hanya terjadi 30-an tahun yang lalu. Benar-benar memprihatinkan.

Belum selesai di situ saja. Eyang pun melanjutkan wejangannya. ”Kita ini orang Jawa. Eh salah… bukan orang lagi, tapi setan Jawa. Nah, sebagai setan Jawa, kita ini sebenarnya diharapkan bisa melestarikan bahasa Jawa setelah mati. Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Jawa ini. Mereka yang masih hidup sudah tidak mau tahu. Ya… berarti kita yang ‘mati-mati’ ini yang berpeluang untuk melestarikannya. Mereka yang hidup itu, tidak perlu lagi diharapkan karena mereka sudah tidak punya pengharapan. Tak ada lagi semangat hidup. Masih mending kita yang punya semangat ‘mati’. Bahkan, kita berani ‘mati’ demi suatu kebenaran. Jika Amroza berani mati dengan mengorbankan hidup orang lain, kita berani ‘mati’ karena justru memper-juangkan hidup orang lain. Jangan sampai mereka mati dan negeri kita ini menjadi semakin padat dengan pendatang-pendatang baru. Dalam sensus penduduk terakhir, negeri kita ini sudah melebihi jumlah manusia di bumi. Katanya sudah ada 33 milyar setan di negeri ini. Eyang takut nanti kalau semakin banyak orang mati, apalagi jika yang mati itu para teroris, negeri ini penuh dengan para teroris. Ada satu Amroza saja kita sudah kebingungan dibuatnya. Manusia itu memang seenaknya sendiri. Dia pikir dengan memberi hukuman mati, semua masalah selesai. Buktinya tidak. Dengan memberi hukuman mati, malah kita ini yang dapat getahnya. Dasar manusia. Mereka semua itu egois. Benar juga kata Emmanuela Kantiania (Setan Filsuf terkenal di negeri ini) bahwa manusia itu makhluk yang sosial-asosial sekaligus pura-pura altruis namun egois. Masih mending kita, para setan, tidak pernah mendeskripsikan diri. Itu lebih ’manusiawi’, walaupun sebenarnya kita ini setan.”

Oh iya, kita juga harus menentang hukuman mati untuk para koruptor. Jangan sampai para koruptor itu cepat-cepat mati dan kita dirugikan. Enak saja. Manusia itu senangnya memang memberi kita barang-barang rusak, kalau masih bekas tak masalah. Kalau rusak? Mau diapakan lagi? Direparasi? Namun sayangnya, mereka bukan mesin. Kalau mesin pasti akan lebih mudah.”

Tak lama kemudian, di balik bilik Ibu memanggil,

”Sudah… sudah… ceritanya disudahi dulu, eyangmu memang suka cerita. Sekarang waktunya buka puasa, setan-setan yang lain sudah menunggu di pendopo. Katanya malam ini akan datang seorang calon presiden untuk buka puasa bersama setan-setan di sini. Siapapun orangnya, semoga saja dia benar-benar setan (SElalu TANgguh)!”

(..menjelang bulan puasa..puasa memberi janji-janji palsu..)

Leave a comment