Richard Rorty : Manusia Ironis Liberal

 

 

irony

Richard Rorty : Manusia Ironis Liberal

 

Sumber            : Magnis-Suseno, Franz 2000, ”Richard Rorty: Manusia Ironis Liberal” dlm: 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Jogjakarta: Kanisius, 239-259.

(Etika)

A.      Biografi Singkat

1931 : Lahir di New York dari keluarga yang menganggap diri kiri dan anti-Stalinis.        

1949  :  Bachelor of Arts dari Universitas Chicago

1952 : Master of Arts dari Universitas Yale (di mana ia kemudian menjadi dosen).1956 :  Promosi doktor filsafat

di Yale. Kemudian mengajar di Wellesley College.

1961 :  Pindah ke Universitas Princeton.

1967 :  Menerbitkan kumpulan karangan “The Linguistic Turn.

1979 :  Menerbitkan buku pertama, Philosophy and the Mirror of Nature  (PMN).

1982 :  Kenan Professor of Humanities di Universitas Virginia.

          Menerbitkan buku kedua, Consequences of Pragmatism.

1989 :  Menerbitkan buku ketiga, Contingency, Irony and Solidarity (CIS).

B.      Latar Belakang Pemikiran Richard Rorty

         (Adorno dan Auschwitz)

         Kebanyakan korban abad ke-20 adalah korban pemikiran ideologis, contohnya di Auschwitz. Auschwitz adalah kamp pemusnahan massal yang dibangun oleh Nazi untuk secara sistematik membunuh orang-orang Yahudi dan orang-orang lain yang dianggap “tidak pantas hidup”. “Mesin pembunuhan” Auschwitz mampu menggas dan membakar mayat sampai 10.000 orang per hari.

         Adorno mengatakan, bahwa sesuatu seperti di Auschwitz tidak boleh diizinkan lagi. Selain itu, hal tersebut tidak hanya tidak perlu diberi pendasaran, melainkan setiapusaha pendasaran adalah tidak senonoh. Ini berarti bahwa mencari alasan mengapa harus bersikap moral adalah tanda orang tidak bermoral! Orang semacam ini menakutkan karena begitu pikirannya berubah, ia tanpa ragu-ragu dapat melakukan apa saja berdasarkan pendasarannya yang baru (misalnya: membunuh, memperkosa). 

C.      Posisi Pemikiran Richard Rorty

         (1) Dengan latar belakang tersebut posisi filosofis Richard Rorty menjadi amat menarik. Ia menyatakan ”kekejaman adalah perbuatan paling buruk”. Mirip dengan Adorno, Rorty menyatakan bahwa kita harus solider dengan orang lain tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik atau prinsip-prinsip umum. (2) Ia merangsang untuk merefleksikan kembali posisi-posisi kaku dalam filsafat. Tugas filsafat bukan mencari dasar dari segala apa yang ada, melainkan menjadi sarana pengembangan diri sang filsuf.

         (3) Posisi Rorty bersifat radikal etnosentris: Pemikiran kita ditentukan oleh bahasa yang kita pelajari, dan setiap bahasa mewujudkan sebuah budaya khas, dengan pandangan dunia, kepercayaan- kepercayaan, nilai-nilai dan cita-citanya tersendiri dan itu semua bersifat kebetulan. Di sini bukan mana yang lebih benar melainkan mana yang lebih membantu. (4) Dari pengandaian tersebut Rorty menarik sebuah kesimpulan politik yang penting: Organisasi kekuasaan politik paling sesuai adalah demokrasi.

         (5)  Pengandaian-pengandaian epistemologis: (A) Dalam PMN, Rorty membongkar usaha seluruh filsafat. Menurutnya Filsafat tidak lebih dari sebuah pembicaraan dalamkonteks bahasa tertentu. (B)  Dalam CIS, Rorty menjelaskan posisinya lebih lanjut. Apa yang kita pikirkan dan kita yakini tergantung dari tandon kata-kata atau kosa kata (vocabulary). Pandangan dunia, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai tergantung dari “kosa kata akhir” kita. Tak ada pandangan dunia atau keyakinan etis yang lebih benar daripada yang lain-lain. Yang ada hanyalah orang dengan kosa kata akhir yang berbeda.   

            

D.      Pemikiran Richard Rorty

             1. Manusia Ironis

             A. Orang yang menyadari bahwa pandangan dunia, kepercayaan-kepercayaan dan keyakinan-keyakinannya yang paling mendalam pun bersifat kebetulan, itulah yang oleh Rorty disebut manusia ironis. Ia “berani menerima kenyataan bahwa kepercayaan dan keinginannya yang paling sentral [pun] tidak mempunyai kepastian” [CIS XV]. Ia tahu bahwa ada banyak orang lain dengan kosa kata akhir lain.

             Manusia ironis bersikap ironis terhadap pandangannya sendiri dan sadar bahwa kosa kata akhir yang dipakainya dapat saja berubah. Tentu, kosa kata akhir tidak berubah seenaknya karena, justru sebagai kosa kata akhir, menjadi wahana keyakinan paling mendalam, bahkan identitasnya sendiri. Kosa kata akhir tidak berubah karena terbukti kurang benar: Soalnya, kosa kata itu bukan benar atau salah, melainkan tepat atau kurang tepat dalam bersama-sama mengatasi tantangan kehidupan. Tetapi kosa kata akhir dapat bergeser, bahkan berubah karena orang bersentuhan dengan orang-orang yang memiliki kosa kata akhir lain.

            B. Manusia ironis itu bukan berarti ia tidak dapat sungguh-sungguh meyakini sesuatu, skeptis total, dan bukanlah orang tanpa keyakinan. Melainkan di sini Rorty ingin menegaskan bahwa manusia ironis adalah orang yang dapat meyakini sesuatu namun tidak harus fanatik dan eksklusif (bersedia mengakui bahwa orang lain bisa saja mempunyai pandangan dan keyakinan yang berlainan, yang tidak mesti “kurang benar”).Menurutnya tidak mungkin kita bertanya, mana dari pandangan dan keyakinan-keyakinan itu yang paling benar.  

             C. Rorty menggunakan kata “she” untuk manusia ironis: The ironist is a ‘she’!Contohnya ia menulis, “…she does not think that her vocabulary is closer to reality than others…” [CIS 73]. Rupa-rupanya ia berpendapat bahwa kaum perempuan lebih memiliki kelenturan dan keterbukaan mental yang perlu untuk bersifat ironis.

             2. Manusia Metafisik

             Lawan manusia ironis disebut Rorty “manusia metafisik” (the metaphysician). Manusia metafisik adalah orang “yang percaya bahwa pertanyaan ‘apa kodrat hakiki (misalnya keadilan, ilmu pengetahuan, eksistensi, iman, moralitas, filsafat)’ mempunyai arti objektif” [CIS 74]. Pandangan dunia, keyakinan-keyakinan moral dan religius menurut mereka bukan hanya sekadar masalah kosa kata, melainkan masalah kebenaran objektif. Hanya satu bisa benar, yang lain-lain mesti salah.  

         3. Manusia Liberal Yang Ironis

         A. Rorty menganggap diri seorang liberal. Pada umumnya “liberal” berarti menganggap kebebasan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan bersama manusia. Masyarakat liberal tidak memaksakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan tertentu pada masyarakat. Dalam masyarakat liberal orang dapat menyatakan pendapatnya tanpa harus takut. Yang menentukan di sini adalah kemampuan kita untuk berbicara dengan orang lain tentang hal-hal yang dianggap benar, bukan yang memang benar.

            Rorty mendefinisikan manusia liberal, dengan mengikuti Judith Shklar, sebagai “orang yang berpendapat bahwa tindakan paling buruk yang dapat kita lakukan adalah perbuatan kejam” [CIS XV]. Jadi, orang liberal menjunjung tinggi kebebasan dengan satu pembatasan: menolak bertindak dengan kejam.

           B. Apakah manusia ironis dapat bersikap liberal, bukankah manusia ironis sadar bahwa kosa kata akhir mana pun dapat dideskripsikan kembali (berubah), padahal tidak ada orang yang suka kalau kosa kata akhirnya – wahana keyakinan-keyakinan paling mendalam miliknya – dideskripsikan kembali?

            Rorty menangkis serangan ini dengan membedakan antara wilayah privat danwilayah publik. Ironisme berlaku dalam wilayah privat, artinya terhadap pandangan dan keyakinan-keyakinannya sendiri. Tetapi justru karena ia sadar akan kerelatifan kosa kata akhir miliknya sendiri, ia bersedia menghormati kosa kata akhir orang lain. Ia bahkan membuka diri terhadap sentuhan kosa kata akhir lain, jadi ada kemungkinan bahwa ia akan mengubah kosa kata akhirnya sendiri.

            4. Perbedaan Manusia Ironis dan Manusia Metafisik (Detlev Horster 1991,99s) 

Manusia Ironis

Manusia Metafisik

Apa yang menghina seseorang? Mengapa jangan menghina seseorang?
Ia mengatakan: Solidaritas berdasarkan perasaan keterancaman bersama. Ia mengatakan: Solidaritas berdasarkan milik atau kekuasaan bersama.
Ia memperhatikan apakah ada orang yang menderita. Ia memperhatikan apakah terjadi pelangga-ran hukum moral.

         Tampak jelas bahwa yang pertama peka terhadap perasaan orang lain sedangkan yang kedua mementingkan prinsip.

            5. Menciptakan Solidaritas              

            ”Solidaritas tidak ditemukan melalui refleksi, melainkan diciptakan. Solidaritas diciptakan dengan meningkatkan kepekaan kita terhadap segi-segi rasa sakit dan keterhinaan orang lain, orang yang belum kita kenal, secara terinci. Kepekaan lebih tinggi berarti menjadi lebih sulit untuk memarginalisasikan orang-orang yang berpikir berbeda dari kita” [CIS XVI].

            Kita menjadi peka karena bersentuhan dengan hidup orang lain. Maka untuk membangun solidaritas nyata di antara manusia, melampaui batas-batas
”orang kita”, tidak perlu, dan tidak berguna, mengajarkan prinsip atau teori-teori tinggi tentang manusia dan Tuhan. Yang perlu adalah agar kita belajar ”ikut merasakan”. Karena itu, Rorty berpendapat bahwa filsafat, seni berakal teoretis, tidak banyak berguna dalam membangun solidaritas. Ia lebih mengharapkan peran para penyair, penulis novel, etnograf, dan wartawan [CIS 94].

E.         Tanggapan Lebih Lanjut

            (1) Rorty melempar sebuah intuisi: Bersikaplah ironis terhadap dirimu sendiri, dan jangan bersikap kejam terhadap orang lain. Ia tidak mau dan tidak dapat ”mendasarinya”. Jadi, kita bisa menolaknya mentah-mentah. Kalau orang berpendapat lain, silahkan! Namun, Ia tidak melakukan kesalahan dalam berpikir. (2) ”Janganlah bersikap kejam!” Tuntutan ini dapat menjadi saringan ”legitimasi” segala perbuatan atas agama.

            (3) Kita mau bersikap solider karena kita ”ikut merasakan”. Anggapan Rorty ini mempunyai relevansi tinggi bagi pendidikan. Setiap orang pertama-tama diajak untuk solider bukan melalui pelajaran teoritis, melainkan dengan praktik (merasakan, peka). Namun, (4) Rorty tidak membedakan antara dua pertanyaan: (A) Mengapa saya harus bertindak secara moral?, dan (B) bagaimana saya bertindak secara moral? Pertanyaan pertama memang tidak dapat diberi pendasaran. Jadi Rorty betul kalau menolak suatu pendasaran mengapa saya harus bersikap solider. Namun, untuk pertanyaan kedua kita tidak dapat hanya menjawab, ”Pokoknya jangan bertindak kejam”. Kita butuh sikap konkret yang harus diambil. Jangan sampai sikap ironis, kesadaran bahwa keyakinan-keyakinan saya belum pasti betul, menjadi kedok kemalasan berpikir.

            (5) Paham-paham (HAM, keadilan, ketidakadilan, dlsb) menurutnya hanya mencerminkan sebuah kosa kata akhir tertentu dan tidak menyumbang sesuatu pada peningkatan solidaritas. Di sini pun Rorty malas berpikir. Ia tidak memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat terstrukturisasi. Apakah lalu lintas mau diatur semata-mata dengan meningkatkan kepekaan? Bukankah perlu peraturan yang jelas?

            (6) Rorty tidak hanya mencurigai segala ”filsafat pendasaran”, ia menolaknya. Rorty mau menggantikan filsafat dengan puisi. Tetapi ia tidak menulis sebagai seorang penyair melainkan lebih sebagai seorang filsuf. Inilah inkonsistensi Rorty. Ia menolak filsafat namun ia menggunakannya.

Leave a comment